"Kenapa kita cuma ada 8 orang, mana satu lagi," ujar salah satu temanku.
"Cukup jumlah kita, ayolah turun aku sudah kedinginan," jawabku, karena aku juga sudah menghitung jumlah anggota kami.
Ketika turun ke pelataran, aku sebagai leader mulai memimpin jalan. Rencananya saat itu kami turun melalui jalan yang sama ketika mendaki ke puncak. Tapi anehnya, saat turun dengan jalan yang sama, malah membuat kami kebingungan karena sama sekali tidak seperti pemandangan yang sudah berulang kali kami temukan dalam perjalanan.
Aku pun mulai bingung ditambah lagi kabut tebal menutupi pandangan, membuatku memutuskan untuk mengajak tim kembali sedikit kearah puncak untuk memutuskan jalan mana yang akan ditempu untuk pulang ke pelataran.
Setelah sedikit kembali, aku memandang kesekitar dan ternyata jalan yang dilalui tadi memang benar. Tapi anehnya kenapa aku merasa jalan tadi salah. Akupun kembali ke tim dan mengatakan jalan tersebut adalah jalan yang benar dan mengajak mereka untuk meneruskan perjalanan ke arah pelataran.
Saat memasuki jalan yang sedikit terjal, di sinilah masalah muncul kembali. Misna mendadak mulai menjerit-jerit dan meracau, sesekali air liurnya menetes keluar. Kami pun bingung bercampur panik karena hari sudah mulai gelap. Aku pun meminta teman-teman untuk memegangi Misna karena takut dengan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Sementara aku langsung menenangkan Misna sambil membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Setelah Misna tenang dan sadar, kami pun perlahan melanjutkan perjalanan untuk turun. Beberapa puluh meter kemudian, giliran Nadia mulai berteriak dan meracau sejadi-jadinya. Kami kelabakan hingga nyaris saja membuat kami lalai dan kehilangan Nadia yang saat itu, berlari ke arah jurang.
Apa yang baru saja terjadi, membuat perjalanan kami menuju pelataran terpaksa terhenti karena hari sudah gelap. Sempat melamun sejenak, akhirnya aku menyadari jika memang banyak kesalahan yang sudah diperbuat anggota kami selama pendakian gunung ini.