Mas Bechi

Mas Bechi

. Putra Pengasuh Ponpes Pesantren Shiddiqiyyah KH Muchtar Mukthi, Moch Subchi membelakangi wartawan.--humas kemenkumham jatim

Dalam perjalanan itulah, menurut Nia, Muchtar mendapat ilham. Ia cukup rendah hati untuk tidak menyebut wahyu. Tapi itu bukan sembarang ilham. Ia menyebutnya ilham ruhi. Itu untuk membedakan antara bisikan Tuhan dan bisikan setan. Atau bisikan khayalan. Rupanya ia sadar akan banyak yang mempersoalkan kebenaran ilhamnya itu.

Ilham ruhi itu terus berdatangan kepadanya. Bertahap-tahap. Lalu ia rumuskan dalam satu rangkaian doa-wirid-zikir selama satu jam itu: Zikir Kautsar.

Muchtar pun membangun gubuk kecil. Di tahun 1968. Saat itu begitu banyak orang stres. Akibat peristiwa nasional tiga tahun sebelumnya.

Nia menggambarkan gubuk itu berukuran 3 x 5 meter. Terbuat dari bambu (dinding) dan ijuk (atap). Tiang-tiangnya dari batang jambe, pinang.

Itulah awal berdirinya pondok di Ploso. Pondok itu ia beri nama Maulana Malik Ibrahim. Rupanya itulah makam pertama yang ia kunjungi di pengelanaan masa mudanya.

Awalnya hanya sedikit yang ikut Kautsaran di situ. Mereka adalah orang yang sakit yang ingin sembuh. Mereka ingin hidup tenang. Diajarkanlah zikir itu. Diajaklah Kautsaran. 

Kian lama kian banyak orang yang punya masalah: ikut Kautsaran. Termasuk masalah karir dan jabatan. Juga masalah kejombloan dan perjodohan. Masalah keinginan yang harus terkabulkan.

Beredarlah kisah sukses dari zikir itu. Dimulai oleh sukses Muchtar sendiri. Ia sudah lama punya keinginan membeli buku: Ikhya Ulumuddin. Empat jilid. Karya filsuf Islam Imam Al Ghozali (meninggal tahun 1111, di wilayah yang sekarang disebut Iran).

Akhirnya buku itu terbeli. Seharga 40.000. Ia merasa capaian itu berkat zikir Kautsar.

Begitu banyak pejabat tinggi yang datang ke Ploso. Yang lokal maupun nasional. Sipil dan militer. Dengan segala macam kepentingan.

Kian besarlah daya tarik pondok Shiddiqiyyah, Ploso.

Tapi lonjakan terbesar terjadi di tahun 1970. Menjelang Pemilu pertama di zaman Orde Baru. Saat itu Golkar harus menang. Partai-partai dianggap tidak berhasil memakmurkan bangsa. Partai-partai harus kalah: NU, Parmusi, PSII, PERTI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan PNI.

Untuk kemenangan Golkar itu dimunculkanlah operasi khusus. Opsus. Dipimpin arsitek rekayasa politik zaman itu: Mayjen Ali Moertopo.

Dimunculkanlah ekstremis yang disebut Komando Jihad. Untuk kemudian ditumpas habis. Orang Islam pun ketakutan untuk tidak memilih Golkar.

Pola Opsus ini masih terus dipakai dalam beberapa Pemilu berikutnya. Tahap berikutnya sembilan partai itu harus diringkas menjadi dua saja: partai spiritualis materialis dan partai materialis spiritualis. PPP dan PDI.

Sumber: disway.id