SAYA ingat Johnny Gerard Plate.
Hari itu saya ingin nonton Piala Presiden. Siaran langsung TV lokal diacak. Di apartemen saya.
"Bisa nonton di kantor?" tanya saya.
"Bisa. Jam 20.30 kan?" jawab teman kantor.
Ia tahu: sebenarnya tidak bisa.
TV di kantor itu TV lama: masih analog. Sedang siaran TV sekarang digital.
Rupanya ia lari dulu ke toko elektronik. Ia beli STB. Entah mengapa alat itu disebut Set Top Box. Itulah protokol elektronik. Agar TV analog bisa menangkap siaran digital.
Harganya Rp 250.000. "Orang-orang kampung harus beli STB. Saya tadi ikut mereka saja," katanya.
Itu berarti pengeluaran baru bagi rakyat bawah. Itulah salah satu alasan mengapa digitalisasi siaran TV tertunda-tunda.
Kasihan mereka. Kini digitalisasi itu dilaksanakan dengan gagah berani. Oleh Menkominfo asli Ruteng itu.
"November nanti seluruh Indonesia sudah harus digital," ujar Johnny. "UU mengamanatkan digitalisasi harus selesai dalam dua tahun," tambahnya.
Saya duduk di sebelah kanan Johnny Sabtu lalu. Di acara kawinan di Jakarta. Di sebelah kanan saya Budi Karya Sumadi, menteri perhubungan. Lalu menteri kesehatan Budi Sadikin.
Digitalisasi TV adalah prestasi nyata Johnny di kabinet Presiden Jokowi sekarang.
Untuk digitalisasi ini Indonesia dibagi dalam 15 wilayah siaran. Perpindahan ke digital itu dilakukan bertahap. Dari satu area ke area berikutnya.
Di setiap wilayah, ''kekuasaan siaran'' diberikan kepada lima perusahaan penyiaran. Yang besar-besar itu: RCTI, Indosiar, TV One, Metro TV, dan Trans TV.