Subsidi Inflasi

Kamis 23-06-2022,08:49 WIB
Reporter : Hendika
Editor : Hendika

 

Maka tidak mudah bagi seorang presiden memutuskan menaikkan harga BBM. Pun bila akibatnya harus menambah subsidi. Apalagi sekarang ini. Meningkatnya angka kemiskinan akan sangat sensitif. Mendekati Pemilu.

 

Apalagi sudah ada yang mengungkapkan data secara kritis: selama 8 tahun pemerintahan Jokowi, penurunan angka kemiskinan hanya 1,5 persen. Dibanding Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, prestasi itu yang paling rendah.

 

Harga minyak mentah dunia sekarang ini memang sangat tinggi: USD 100 per barel. Maka kalau harga BBM terus dipertahankan angka subsidinya bisa Rp 500 triliun.

 

Kalau pun subsidinya sebesar itu, kita jangan pernah mengejek Jokowi. Sekarang maupun kelak. Itu memang pilihan yang amat sulit. Ingatlah statistik tadi: setiap kali harga BBM dinaikkan, tingkat kemiskinan ikut naik.

 

Para ekonom memang akan selalu bilang: subsidi BBM itu salah sasaran. Pemilik mobil kok disubsidi. Tapi statistik berbicara seperti itu tadi. Belum pernah terjadi kenaikan BBM yang tidak membuat kemiskinan naik. Saya bukan ekonom, tapi misteri di statistik tersebut harus ada bahasan teori ekonominya.

 

Memang tidak apa-apa tingkat kemiskinan naik. Katakanlah naik 2 persen. Demi penurunan subsidi. Tapi itu hanya boleh terjadi kalau usaha penurunkan kemiskinan sebelumnya sudah mencapai 6 persen. Masih bisa ''untung'' 4 persen.

 

Tapi di saat penurunan kemiskinan hanya 1,5 persen tambahan 2 persen akibat kenaikan BBM  membuat kita ''rugi'' 0,5 persen. Saya sangat memahami sulitnya pengambilan keputusan sekarang ini. Subsidi atau inflasi.

 

Anda masih ingat: harga minyak mentah sekarang ini bukan yang tertinggi. Harga itu pernah mencapai 112 dolar/barel. Yang membuat pemerintah tetap tenang adalah: uangnya ada. Yakni dari kenaikan harga batu bara di pasar internasional. Gila-gilaan. 

Tags :
Kategori :

Terkait