Surat Kuasa
Ilustrasi Harian Disway----
DUA perkembangan ini perlu dicatat. Pertama, penanganan perkara pelecehan seksual yang dihentikan. Kedua, tersangka Bharada E mencabut surat kuasa.
Dua-duanya menarik. Trend penanganan peristiwa Duren Tiga mungkin sudah tecermin dari dua kejadian itu.
Yang pertama, alasannya jelas: peristiwanya sendiri tidak ada. Pelecehan itu tidak ada. Yang ada hanyalah pelaporan. Pelapornya Ny Ferdy Sambo. Lokasi kejadiannya di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo. Di Duren Tiga, Jakarta. Waktunya: pukul 17.00, tanggal 8 Juli 2022.
Laporan ke Polres Jakarta Selatan itu sendiri baru dilakukan keesokan harinya: tanggal 9 Juli.
Bunyi laporannya, tahan napas, kalimatnya panjang: "tentang kejahatan terhadap kesopanan dan atau perbuatan memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan atau kekerasan seksual, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 289 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal 4 juncto Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual".
Dan yang seperti itu tidak ada.
Ada satu perkara lagi yang juga dihentikan penanganannya, tapi tidak begitu berpengaruh pada tren ke depan. Yakni laporan Bharada E. Yang dilaporkan: Brigadir J. Isi laporan: Brigadir J melakukan percobaan pembunuhan terhadap dirinya.
Peristiwa ini juga tidak ada. Tembak-menembak itu hanya rekayasa. Apanya yang mau ditangani.
Pelecehan seks di Duren Tiga memang tidak ada. Bagaimana kalau itu dilakukan di Magelang? Seperti yang belakangan dikatakan oleh Irjen Pol Sambo?
Kalau benar terjadi bisa saja polisi menangani itu. Masalahnya: laporan ke polisinya belum ada. Kalau pun ada, yang dilaporkan juga sudah meninggal dunia.
Yang tidak kalah menarik adalah kejadian kedua: soal surat kuasa Bharada E ke pengacara Deolipa Yumara SH, SPsi. Yang dicabut mendadak itu.
Almarhum ayahnya anggota TNI-AL. Pangkatnya sersan mayor. Saat Deolipa kecil Sang Ayah pindah tugas ke Bitung, dekat Manado.
Deolipa sudah menjadi pengacara selama 20 tahun. Bukan pengacara biasa. Ia selalu menyebut dirinya dengan gagah: pengacara Merah Putih.
Pentingnya penegakan hukum menjadi darah dagingnya. Sampai juga ke sumsumnya. Ia sangat dekat dengan para pejabat tinggi polisi –khususnya pejabat tinggi yang juga berjiwa Merah Putih.
Suatu siang Deolipa dibangunkan. Padahal ia baru sempat tidur dua jam. Malam sebelumnya ia tidak tidur sama sekali. Sepanjang malam. Paginya pun belum bisa tidur. Maka di hari Sabtu itu ia baru berangkat tidur pukul 12 siang.
"Saya dibangunkan sekitar pukul 14.00," ujar Deolipa. "Ada apa dibangunkan begini," tanya Deolipa.
"Nih, ada pekerjaan Merah Putih," ujar yang menelepon.
Si penelepon adalah pejabat cukup tinggi di Mabes Polri.
Sampai di Mabes, Deolipa mendapat penjelasan apa yang telah terjadi di Duren Tiga.
"Ternyata benar. Ini Merah Putih," katanya dalam hati. Maksudnya, ada urusan kebenaran yang harus ditegakkan. Juga ada pencemaran nama Polri yang harus dibersihkan. Terutama yang membuat kotor itu yang harus dicuci.
Maka Deolipa pun diantar menemui Bharada E di tempat tahanannya. Di situlah Bharada E menandatangani surat kuasa ke Deolipa.
Deolipa pun merasa tugas itu tugas Merah Putih. Pemberi tugas pun resmi –saya lupa menanyakan apakah ada suratnya.
Maka ketika kuasa itu dicabut, Deolipa terlihat sewot. Ia pun terpikir mempersoalkan fee. Ia merasa berhak meminta fee sebagai pengacara Bharada E. Sejak surat kuasa ditandatangani sampai dicabutnya.
"Saya akan menuntut fee Rp 15 triliun," ujarnya pada media. Menuntut siapa? "Negara. Bagi negara Rp 15 triliun kan kecil," katanya.
Untuk apa uang sebanyak itu?
“Ya kan bisa untuk foya-foya," kata Deolipa.
Kelihatannya seperti jenaka tapi Deolipa serius –dalam arti ada apa surat kuasa dicabut. Sepertinya ada yang menginginkannya dicabut. Surat pencabutan itu diketik, bukan tulisan tangan. Berarti ada yang membuatkan. Juga tanpa alasan apa pun –meski pencabutan surat kuasa tidak harus pakai alasan.
Memang memberi dan mencabut surat kuasa hak sepenuhnya klien. Dalam hal ini Bharada E. Itu Deolipa juga paham. Tapi tetap ada pertanyaan ''mengapa dan ada apa''.
Deolipa SH, SPsi, alumnus Universitas Indonesia. Sekaligus sarjana hukum dan sarjana psikologi.
Ia aktivis sejak di almamater. Ia tokoh aktivis 1998 –hanya saja tidak termasuk yang diculik Tim Mawar. Ia juga ikut mendirikan KB-UI –Keluarga Besar Universitas Indonesia– yang sangat kritis itu.
Ia keturunan Jombang tapi lahir di Jakarta. Di kompleks TNI AL. Karena itu ia masuk SMAN 52 Jakarta. Kampung asli ayahnya dekat Tebuireng, Jombang, dan keluarganya menjalin hubungan dekat dengan pondok ''Bintang Sembilan'' NU itu. Bahkan kakeknya termasuk salah satu pendiri pondok Bintang Sembilan lainnya: Lirboyo, Kediri.
"Saya ini keturunan Islam," katanya.
Bahwa namanya Deolipa itu terkait dengan hari kelahirannya: Desember-rebO-Legi-Pagi. "Lihatlah kalender lama. Tanggal 13 Desember 1972 pasti Rebo Legi," ujarnya.
Saya pilih percaya saja. Saya tidak punya kalender lama. Mau bertanya ke Google saya ragu: apakah software Amerika punya kepercayaan pada Pon-Wage-Kliwon.
Saya belum pernah bertemu dengannya. Tapi ia bisa bercerita dalam sekali soal jerohan kepolisian.
"Jangan-jangan Anda ini pernah aktif di kepolisian...," tanya saya.
Ia hanya tertawa lebar. "Pokoknya saya ini orang dalam lah," jawabnya.
"Pangkat terakhir Anda apa," tanya saja agak ngawur sambil memancing.
"Pangkat saya seniman," jawabnya.
Saya pun melihat foto status di HP-nya: memangku gitar. Ia gitaris. Punya grup band.
Dan inilah acara Deolipa berikutnya: konser musik. Yakni untuk mengenang Brigadir Yosua. Senin minggu depan. Di Bidakara, Jakarta. Ia sendiri penyelenggaranya: Deolipa Project Band dan Deolipa Yumara Law Office.
Saya hanya bisa usul kecil-kecilan: agar lagu satu ini ikut dinyanyikan. Inilah salah satu lagu yang belakangan suka dinyanyikan Yosua: Full Senyum Sayang.
Di samping menonton konser tetaplah memperhatikan siapa pengacara Bhadara E berikutnya. Lalu ke mana orientasinya.
Cukup. Baiknya Anda jangan tebak dulu ke mana arah perkembangannya. Kecuali Anda sudah dewasa.(Dahlan Iskan)
Sumber: disway.id