Belum lagi kalau dilihat dari kenaikan harga batu bara: tiga kali lipat. Bagaimana bisa bahan bakar yang dihujat habis-habisan itu justru kian jadi rebutan. Termasuk di negara yang begitu getol mempersoalkan sisi buruk batu bara.
Kian disadari bahwa tenaga angin sulit diandalkan: angin-anginan. Kadang angin terlalu kencang –merusak kincir. Lebih sering lagi: tidak ada angin. Padahal Anda tidak bisa diberi pengumuman jenis ini: maafkan listrik mati karena lagi tidak ada angin. Lalu Anda pun melongok ke luar jendela: oh iya daun-daun pun tidak bergoyang.
Memang terus ditemukan bilah-bilah ajaib. Di kecepatan angin 1 m/menit pun bilah kincir sudah bisa memutar.
Ditemukan juga kincir susun. Satu tiang bisa dipasangi banyak kincir. Ada lagi cara-cara lain dalam menempatkan kincir. Atau model baru kincir. Tapi belum satu revolusi. Efisiensi pembangkit tenaga angin tetap saja masih jauh dari memadai: sekitar 16 persen.
Masih harus ditunggu: lahirnya teknologi baterai yang kapasitas besar dengan harga murah. Ketika angin kencang hasil listriknya disimpan. Dipakai ketika lagi tidak ada angin.
Demikian juga solar cell: menunggu baterai itu. Ia menyimpan hasil listrik dari matahari di waktu siang untuk digunakan malam hari.
Tenaga air, Anda sudah tahu: investasinya begitu besar. Lokasinya hampir selalu di pegunungan. Ancaman longsor menghantui investor. Juga ancaman rusaknya lingkungan: volume air menurun dari tahun ke tahun. Belum lagi pendangkalan sungai dan waduk. Perambahan penduduk.
Semua jenis pembangkit non batu bara belum ada yang bisa menggantikan batu bara –reliability maupun harganya. Pun di kala harga batu bara sudah di atas langit sekarang ini.
Dan Jepang memilih menghidupkan kembali 14 reaktor nuklirnya. Tidak perlu investasi: barangnya sudah ada. Tidak perlu bahan bakar: stocknya masih cukup untuk puluhan tahun. Tidak perlu membangun transmisi: semua sudah tersedia.
Atau tetap hemat listrik sampai menderita, sambil terus memberikan utang kepada kita yang suka memboroskannya. (Dahlan Iskan)